Minggu, 13 November 2016

LAPORAN BACAAN BUKU A TEEUW Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori Sastra

TUGAS KESUSASTRAAN

LAPORAN BACAAN BUKU A TEEUW

logo-universitas-negeri-padang-(UNP).png

NAMA            : RESTYA RAMADHANI

NIM                : 16017045

KELAS           : A

PRODI            : SASTRA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2016

 

 

 

LAPORAN BACAAN

OLEH: RESTYA RAMADHANI

A.    PENDAHULUAN

Identitas Buku

Judul                            : Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori Sastra

Pengarang                    : Prof. Dr. A. Teeuw

Penerbit                        : PT DUNIA PUSTAKA JAYA

                                       Jl. Kramat Raya No. 5K, JAKARTA PUSAT

Tahun Terbit                 : 1988

Cetakan                         : Pertama 1984

                                         Kedua 1988

Tebal                              : 404 Halaman

Seri                                 : PJ 580 02

Garis Besar Isi Buku      : 19 cm

Gambar Jilid                   : A. Wakidjan

Dicetak dan dijilid oleh PT Karya Nusantara, Bandung

B.     LAPORAN BAGIAN BUKU

BAB I

APAKAH SASTRA? BAHASA LISAN - BAHASA TULIS – SASTRA

               Bab I memaparkan masih sulitnya para ilmuan mencarikan batas untuk mendefinisikan(mengartikan) sastra secara mutlak. Karena jikalau ada yang melakukan pedekatan untuk dari definisi itu, banyak yamg menentang,  menolak, atau tidak ksampaian karena hanya menekankan pada satu aspek saja.

               Pada Bab ini penulis juga menjelaskan bahan banding agar dapat menjelaskan pengetian  sastra, serta menjelaskan ciri-ciri istimewa perbedaan pemakaian bahasa dalam bentuk tulisan dengan bahasa secara lisan, seperti :

1.      Komunikasi

2.      Hubungan fisik

3.      Situasi komunikasi

4.      Kemungkinan akan adanya kesalahpahaman

5.      Keuntunagn dan kekurangan diantara keduanya

6.      Perkembangan IPTEK yang turut memberikan pengaruh

7.      Kemungkian adanya jarak jauh antara kedua belah pihak.

               Namun bukan ke-7 ciri itu saja yang dikemukan oleh penulis, penulis  juga menjelaskan konsekuensi situasi tulisan untuk sastra, seperti keharusan bagi penulis yang ingin melakukan perumusan untuk lebih teliti dan tepat, sarana komunikas yang khas, situasi komunikasi tulisan yang dimanfaatkan dan dipermainkan petensinya, menjadi sumber paradoks sastra yang fundamental,dapat dibolak-balik, pertentangan lisan dengan yang dituliskan,  sastra menjadi gejala sejarah.

               Penulis juga menekankan bahwa sastra dan bahasa tulis itu tidak identik, sastra tidak terbatas pada bentuk bahasa tulis, hal ini dikarenakan sastra juga ada yang lisan.

BAB II

KARYA SASTRA DALAM MODEL SEMIONTIK

              Pada bab ini penulis menjelaskan megapa gejala sastra dapat didefiniskan dan mengapa begitu banyak jalan unuk mendekatinya, yang diawalai dengan penjabaran mengenai perkembangan semiotik menurut Ferdinand de Saussure yang membicarakan berbagai yang khas seperti tanda adalah arbitter, konvensional, dan semantik, de Saussure juga mengatakan bahwa penting juga memperhatikan pemanfataan aspek bunyi, karena bunyi tidak sembarangan dipakai oleh manusia  namun harus menggunakan kaidah yang jelas.

             Selanjunya penulis menjelaskan mengenai situasi dan tanda bahasa menurut Mode bahasa  Karl Buhler, yang mana Karl Buhler dalam bukunya yang berjudul : Sprachteorie” dalam buku itu beliau menjelaskan panjang lebar mengenai bahasa sebagai sistem tanda. Namun penulis menyayangkan buku Karl Buhler yang kurang menarik perhatian karena ditulis dalam bahasa Jerman.

            Penulis juga menyinggung bagaimana Abraham memperlihatkan kekacauan dan keraguan teori mengenai sastra yang berlaku dan diutamakan dimasa Romantik, khususnya dalam puisi dan ilmu satra Inggris abad ke-19.

           Selanjunya penulis juga menyebut model Roman Jakobson dengan fungsi politik , secara singkat beliau  membahas faktor bahasa dan fungsi bahasa. Penulis juga melakukan rujukan lain seperti Charles Morris yang mengungkapkan perbedaan tiga dimensi dalam proses semiosis yang dilambangkan  dengan  segiiga dan juga pada bukunya yang berjudul “The Search  for Literary Meaning” (1975: 41) tentang Foulkes.

             Menurut penulis situasi dan fungsi karya sastra cukup kompleks dan beragam seninya. Pendekatan yang hanya menitikberatkan pada satu aspek saja akan bersifat berat sebelah, maka dari itu semua aspek karya sastra harus di ikutsertakan .

              Pada Bab ini penulis juga menyebutkan faktor lain yang perlu ada dalam semiontik sastra, seperti sistem bahasa dan konvensi sastran dan yang lebih pentingnya lagi pada saat penelitian fungsi karya sastra, ialah faktor waktu sebab dalam variabelya karya sastra bukanlah sesuatu yang stabil, tetap, dan tidak dapat terubahkan. Sebagai penutup bab ini penulis membicarakan masalah nilai, beliau mengatakan bahwa sebenarnya penelitian itu termasuk bidang estetik sebagai cabang ilmu tersendiri.

BAB III

KARYA SASTRA DAN BAHASANYA

               Pada bab ini penulis memaparkan bahwa tidak dapat disangkal bahasa sastra itu khas, misalnya puisi, seorang penyair sudah pasti menggunakan bahasa menyimpang yang biasa tidak dipakai dalam kehidupan sehari-hari atau bahasa normal. Dalam ilmu sastra sendiri juga dapat keistimewaan pemakaaian bahasa dalam sastra, terlebihnya dalam bidang piuisi itu pasti ditonjolkan. Penulis juga menyebutkan sastra menyediakan norma yang baik untuk berbahasa khususnya bahasa Latin.

             Pada bab ini penulis juga menjelaskan bahwa pada jaman modern stilistik sering memperlihatkan persamaan dengan retorika, namun tanpa aspek normatifnya. Silistik berusa ha dan berhasil menetapkan keistimewaan pemakaian bahsa secara insedental, namun tidak berhasil menjelaskan apakah ciri khas bahasa puisi secara umum dan hakiki.

              Selanjutnya penulis menjelaskan fungsi bahasa puitik menurut teori Jakobson, yang secara ringkas menyebutkan fungsi puitik bahasa adalah pemusatan perhatian pada pesan demi pesan itu sendiri (Jakobson 1960 :356). Jakobson secara khusus membikmncarakan puisi sebagai bentuk sastra yan paling khas dan tipikal atu dengan kata lain fungsi puitiklah yang paling dominan. Ia juga menguraikan prinsip konstitutif puisi ialah ekuivalensi “The poetic function projects the principle of equivalence from the axis of selection into the axis of combination” dimana lebih menonjolkan equivalensi yang terdapat dalam gejala yang sangat beraneka raga, ekuivalensi bunyi, dalam bentuk rima, aleterasi, asonasi.

            Secara rinci penulis menjelaskan bagaimana Jakobson mengembangkan teorinya tentang kekhasan fungsi puitik dan prinsip yanng mendasari puitik, serta penulis juga menampilkan ahli ahli lain yang menentang serta mengkritik Teori Jakobson itu, seperti            Riffaterre yang berpandangan bahwa Jakobson hanya memperhatikan aspek linguitik dalam artian yang terbatas saja dan mengabaikan aspek-aspek lain. Menurut Riffaterre pendekatan yang dilakukan oleh Jakobson mengakibatkan penghilangan relevansi sosial karya sastra,  menurut Riffaterre aspek terpenting dalam puisi sperti ketegangan antara arti mimetik unsur bahasa dan makna semiotiknya.

           Pada bab ini penulis juga menampilkan ahli lain yang juga menentang teori Jakobson seperti ary Loise Pratt yang mengkritiknya secara sosiologis mulai dari analisis struktur. Secara jelas penulis menegaskan bahwa makna sebuah karya sastra baru akan dapat kita pahami jika kita ketahui bahwa karya itu adalah karya sastra yang berdasarkan konvensi dan aturan tertentu.

Penulis mengemukakan beberapa konvensi yang berlaku dalam komunikasi kesastraan, yaitu :

1.      Pembaca telah menerima peranan sebagai audlence dalam menanggapi situasi pesan sastra

2.      Si pembaca telah tahu sebelumnya bahwa bacaan yang dihadapinya buka sembarang tulisan.

3.      Pratt membicrakan karya sastra yang disebut Tellability

 

BAB IV

KARYA SASTRA DAN SISTEM SASTRA

            Pada bab ini penulis menjelaskan bagaimana pandangan Praat terhadap sastra, menurutnya sastra adalah contexdependent speech event yaitu peristiwa ujaran yang tergantung pada konteks. Yang sebelum dipakai penulis sudah merupakan sistem tanda, sistem semiotik, selanjutnya penulis membahas mengenai sastra dan pemisahan konvensi budaya, hal ini ditujukan untuk jikalau ingin melakukan penelitian sastra indonesia tradisional sosiolinguistik tidak mudah dilakukan

           Penulis juga membicarakan tentang konveksi kesastraan yangkhas. Namun sebagaimana yang di jelaskan si penulis dalam abad ke-19 khususnya Madame de Stael, mereka justru sangat kuat menentang konvensi sosial, mau kembali ke alam tanpa konveksi yang mengikat secara sosial

Penulis juga menjelaskan tentang sistem sastra, yaitu:

1.      Sistem itu tak dapat bersifat longgar, lincah. Dikarenakan adanya penyimpangan dan pelanggaran terhadap norma-norma.

2.      Perbedaan antara diakronik yang cukup mendasar untuk konsep sistem bahasa.

BAB V

KARYA SASTRA SEBAGAI STRUKTUR STRUKTURALISME

          Pada bab ini penulis menggunakan teori Aristoteles mengenai struktur karya sastra yang membahas membahas 4 pendekatan yang disarankan oleh model Abrams yang mana prinsipya juga sama dengan prinsi semiotik, diantaranya:

a.       Pendekatan obyektif, pendekatan ini lebih menekankan karya sastra sebagi struktur yang sedikit banyaknya bersifat otonom.

b.      Pendekatan ekspresif

c.       Pendekatan pragmatik

d.      Pendekatan mimetik

         Dalam bab ini penulis juga ada menyinggung struktur karya sastra dan lingkaran hermeneutik dimana menurutnya hermeneutik itu sendiri adalah ilmu atau keahlian mengnterpretasi karya sastra dan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas. Si penulis menjelaskan bagaimana munculnya minat untuk struktural karya sastra yang berangsur-angsur dimulai pada abad ke-20, dimana penelitian struktural dirintis oleh kelompok peneliti Rusia(formalis) antara 1915-1930 seperti tokohnya yaitu Jakobson, Shklvsky, Eichenbaum, Tynjanov dll. Mereka ingin membebaskan ilmu sastra dari pengaruh, tekenan ilmu lain, aliran formalis cepat berkembang dalam struktural, karena mereka sadar akan dinamik intrinsik yang menjadi ciri khas sejarah sastra.

           Selanjutnya penulis juga menjelaskan analisis struktur suatu karya, yang mana berdasarkan prinsipnya saja sudah diketahui bahwa analisis karya berjuan untuk membongkar, meneliti, memarparkan secara cermat, detail, mendalam, keterjalinan semua anasir, beserata aspek karya sastra yang sama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh. Selanjutnya penulis mengemukakan beberapa kelemahan strukturalime khususnya New Critictsm, diantaranya yaitu :

1.      New Critictsm secara khusus dan analitik struktur karya sastra secara umum bellum merupakan teori sastra.

2.      Karya sastra tidak dapat diteliti secara terasing, tetapi harus dipahami dalam rangka sistem sastra dan latar belakang sejarah.

3.      Adanya struktur yang obyektif dalam sastra makin disangsikan.

4.      Analilis yang menekankan otonomi sastra juga menghilangkan konteks dan fungsinya.

            Pada bab ini penilis menyimpulkan bahwa pendekatan sruktutral sastra terhadap sastra dan karya sastra tidak perlu dan tidak di mutlakkan, pendekatan struktural terhadap karya sstra harus ditematkan dalam keseluruhan model semiotik.

BAB VI

PENULIS DALAM MODEL SEMIOTIK

           Pada awal bab ini, penulis memaparkan tentang longinus, longinus itu sendiri adalah keterbatasan  keterangan terhadap sejarah, yang mana nama penuils buku yang tidak diketahui. Kemudaian dilanjutkan dengan keterangan penulis mengenai manusia sebagai pencipta meneladani ciptaan Tuhan pada abad pertengahan.

            Pada lain subbab, penulis juga menjelaskan bahwa puisi lirik adalah merupakan jenis sastra yang sangat populer dan  represeentatif pada zaman romantik, menurut penulis dalam puisi lirik pengkritik sastra romantik mendapakan sarana yang paling baik untuk menyelami jiwa penyair  yang mejadi tujuan utama merreka, puisi lirik tidak mengambil bahanbahan dari luar(katanya), dari knyataan seperti epik dan roman atau kebanyakan drama, namun bahanya terkandung dalam jiwa pencipta.

              Selanjutnya penulis menjelaskan tentang masalah pemahaman teks dan niat teks, yang mana secara ringkasnya penulis membenarkan bahwa tidak semua peneliti sastra modern setuju dengan penghilangan pengarang dan niatnya sepeti dalam kalangan New Criticsan. Disisi lain penulis juga menyertaka pendapat para ahli tentang masalah penghilangan pengarang sebab tindakan ini sama saja dengan birokrasi modern dan borokrasi politik yang juga mengorbanka kepentingan individu dan manusia demi cita-cita dan norma-norma praktis.

             Selain itu pada bab ini penulis juga menampilkan siapa saja tokoh yang menetang aksi penghlanhgan pengarang tersebt, seperti Juhl, dimana Juhl yang dalam karya sastranya yang berjudul Interpretation. Buku ini sangat tegas sangat menentang pendirian struktural otonomi yang melepaskan karya sastra dari niat penulisnya  julh dalam bukunya itu epertahankan 3 dalil yaitu :

1.      Ada perkaitan logis, artinya jika memahami karya sastra berarti memahami apa-apa yang diniatkan penyampaiannya oleh penulis.

2.      Penulis yang nyata terlibat dalam dan bertanggung jawab proposisi yang diajukan dalam karyanya.

3.      Karya sastra hanya mempunyai satu dan hanya sstu saja arti dan intention niat

             Pada akhir bab penulis menjelaskan kesimpulan yaitu bagi pembaca hubunan antar teks dan penulisnya mempunyai ambiugitas sebagai ciri khas, makan sebuah karya tidak mutlak hasil niat dari penulis. Penuli sadar bahwa jika ia menghadapi karya sastra berarti ia berurusan dengan manusia dibelakangnya.

BAB VII

PEMBACA  DALAM MODEL SEMIOTIK

               Pada awal bab VII penulis menjelaskan bahwa pada dunia Barat, fugsi bahasa untuk memenuhi pmbaca lain mengakibatkan pembauran antara teori sasra dan teorik yang berusaha untuk meneliti dengan tepat, cepat,  lengkap dan secermat mungkin. Juga pada bab ini penulis menjelaskan resepsi struktural dinamisme menurut Mukarovsky, yaitu karya sastra yang berpangkal kepada pada aliran formalis yang sabagai usaha untuk memahami karya sastra sebaga realisasi fungsi puitik bahasa.

               Secara detail penulis menjelaskan bagaimana Mukarovsky mengaitkan sastra itu dengan berbagai aspek. Tidak hanya resepsi dari Mukarovsky saja yang dijabarkan secara rinci oleh penulis pada bab ini, namum juga disertakan dengan alasan dan pandanga dari ahli lain yang menguatkan resepsi yang dikemukakan oleh Mukarovsky, contohnya seperti Felix Vodickan namun peresepsi yang ditonjolkan dalam pembahasan Vodicka itu adalah kekonkritannya. Penulis juga secara detail membahas bagaimana Vodicka menyampaian gagasannya, bahkan saa ia harus berselisih paham dengan Ingarden.

               Selanjutya pembahasan dilanjutkan dengan teori estetik resepsi menurut Jausz, yang menyebutkan bahwa   teori ini juga tidak jauh berbeda dengan  resepsi Mukarovsky.          

             Dan hal inti dalm bab ini adalah bagaimana pembaca itu, menurut Foulkes dalam rangka penelitian karya sastra dalam semoitik mau tdak mau harus mencurahkan situasinya pada pembaca. Pembavca penting dari dua segi, yaitu sebagai subyek dan sebagai obyek.   Sebagai subyek ialah yang menafsirkan, membaca, menilai  karya sastra dalam proses interpertasi ia selalu berada dalam posisi tegangan antar textual strcture. Selajutnya penulis menjabarkan bagaiamana metode penerapan resepsi karya sastr, beserta melewati apa dan bagaiman pendekatan yang digunakannya.

BAB VIII

KARYA SASTRA DAN KENYATAAN

            Pada bab ini penulis menjelaskan tentang teori palti yang secara rinci membahas tentang mimesis,menurutnya mimesis itu terikat pada pendekatan bagi Plato tidak ada pertentangan antara realisme dan idealisme dalam seni ( seni yang baik lewat mimesis peneladanan kenyataan mengungkapkan sesuatu mengenai makna hakiki kenyataan itu).

              Dari sisi lain, Aristoteles menyanggah Plato, dimana aristoteles tidak menerima filsafat ide Plato dan sistenm nilainya yang hirarkis justru menonjolkan aspek positif dari mimesif. Penyair tidak meniru kenyataan, tidak mementaskan manusia yang nyata atau peristiwa sebaiamana adanya. Menurut Aristoteles seniman lebih tinggi nilai seninya daripada seorang tukang, karena seniman it padangan vision, penafsiran keadaanlah yang dominan.

            Selanjutnya penulis membahas bagaimana hubungan antara alam, seni dan kebudayaan.. disini penulis mengaitkan beberapa pendapat dan pendukung yang konktet dari bebrapa ahli.  Penulis juga membahas keterkaitan antara mimesif kreasi dari segi bahasa.

BAB IX

TEKS KARYA SASTRA SEBAGAI VARIABEL DALAM MODEL SEMIOTIK

              Pada bab ini penulis menjelaskan tenang kemampuan kebuah teks, yang secara ringkasnya ,Menurut Bowers pengaruh perusak karya sastra yang tak kenal ampun, yang menggerogoti sebuah teks sepanjang waktu penurunannya. Kenyataanya teks apapun juga cenderung berubah dan tak tidak stabil wujudnya sepanjang masa. Masalah ini yaitu karya sastra sebagai variabel, dengan konsekuensinya untuk fungsi karya sastra sebagai tanda dalam model semiotik. Dalam hubungan dan peranan pembaca serta faktor-faktor lain yang relvan yang ditimbulkan oleh model tersebut

             Selanjunya penulis membahas tentang filologi atau tekstologi sebagai studi sejarah teks yang mana tekstologi itu dapat dibekan menjadi 3 macam menurut penurunan teks yaitu :  

1.      tekstologi yang meneliti sejarah teks lisan

2.      tekstologi yang meneliti sejarah teks manuskrip

3.      tekstologi yang meneliti sejarah buku catatan

Pada bab ini penulis juga menyertakan mengapa teks itu tidak mantap seperti :

1.      Perubahan dalam hal transliterasi dari satu sistem tulisan ke sistem lain.

2.       Penggarapan kembali sebuah teks yang sudah dicetak oleh pengarang.

3.      Sebuah teks cetakan diubah atas anjuran atau petunjuk penerbit

4.      Teks cetak yang diubah karena campur tangan sensor atau pembesar dengan alasan politik.

5.      Perubahan teks

              Selanjunya penulis membahas tentang sepuluh dalil Lichacev untuk tekstologi. Bunyi sepuluh tesis Lichachev yaitu :

a.       Tekstologi ialah cabang ilmu pengetahuan yang menyelidiki sejarah teks suatu sastra

b.      Pertama-tama penelitian teks, kemudian penerbitannya

c.       Edisi teks harus menggambarkan sejarahnya

d.      ada kenyataan tekstologi diluar penjelasannya

e.       Kesaksian perubahan teks yang sadar diadakan secara ideologis, estetik, psikologi.

f.       Teks perlu diteliti keseluruhannya

g.      Bahan penyerta tekstologi dan suatu karya sastra dala satu kumpulan

h.      Perlu diteliti bayangan sejarah teks sebuah karya dalam monumen sastra lain

i.        Pekerjaan sang penyalin dan kegiatan skriptoria perlu diteliti

j.        Rekonstuksi suatu teks tidak dapat menggantikan teks yang di turunkan secara factual

Selain itu penulis juga membahas menngenai filolgi yang ada di indonesia, kritik filologi tradisional, dan variasi naskah.

 

BAB X

STUDI SASTRA LISAN DALAM RANGKA SEMIOTIK SASTRA

Pada bab ini penulis mengemukakan Alasan mengapa dianggap penting perhatian untuk bentuk sastra lisan yaitu :

1.      Ada perbedaan antara sastra lisan dan sastra tulis. Sastra tulis tidak memerlukan komunikasi langsung antara pencipta dan penikmat.

2.       Peneliti sastra lisan biasanya berlangsung dalam rangka yang berbeda-beda dengan ilmu sastra umumnya.

3.      Kerangka teori sastra sekaligus dapat dipakai untuk sastra lisan

4.      Kedua bentuk sastra masih berdampingan, tetapi sering pula ada keterpaduan

              Pada pembahasan selanjutnya penulis menjelaskan bagaimana minat untuk bahasa lisan yang ada di Eropa, Indonesia beserta sejarahnya, yang disertai dengan perkembangan penilitian sastra baik secara modern, maupun secara tradisional.

 

BAB XI

TEORI SASTRA DAN SEJARAH SASTRA

            Pada sub bab yang pertama penulis menjelaskan tentang pendekatan sejarah sastra yang tradisional yang mana empat pendekatan yang utamanya yaitu :

1.      Sejarah sastra ditaklukan pada sejarah umum, sehingga karya sastra dan penulisnya ditempatkan dalam rangkaa yang disediakan oleh ilmu sejarah umum

2.      Pendekatan yang mengambil kerangka karya atau tokoh agung, gabungan dua kriteria.

3.      Sejarah sastra yang memusatkan perhatian pada motif atau tema yang terdapat dalam karya sepanjang zaman.

4.      Lebih memperhatikan asal usul  karya sastra daripada struktur dan fungsinya

Selaun itu penulis juga mengungkapkan beberpa faktor relevan mengenai sejarah sastra diantaranya :

a.       Dinamika sistem sastra.

b.      Pengaruh timbal balik antara jenis sastra.

c.       Intertektualitas karya individual dan sejarah sastra.

d.      Sejarah sastra dan sejarah umum.

e.       Penelitian resepsi sastra dan sejarah sastra.

f.       Sastra lisan dan sejarah sastra.

BAB XII

SASTRA SEBAGAI SENI : MASALAH ESTETIK

              Pada bab ini penulis membahas tentang keterkaitannya almu sastra dengan seni dalm segala aspek, misalnya padaa seni lukis, seni tulis, seni tari, seni drama, seni patung dan lain-lain. Menurutya seni bahasa menimbulkan masalah yang khas, karena bahasa sebagai sarana seni bagi seniman. Bahasa sebelum dipakai oleh seniman untuk membentuk sistem tanda dengan sistem makna yang mau tak mau mendasari ciptaan sastrawan

              Selanjutnya penulis menjelaskan sejarah estetik sastra Barat ia, mengatakan keindahan yang mutlak menurut Plato hanya terdapat pada tingkatdunia ide-ide, dan dunia ide yang mengatasi kenyataan itulah dunia ilahi yang tidak langsung terjangkau oleh  manusia.

             Pada bab ini penulis juga membahas  beberapa pendekatan estetik Indonesia : Melayu dan Jawa Kuno, ringkasnya Braginsky membedakan tiga aspek pada konsep keindahan melayu. Aspek ontologisnya yaitu keindahan puisi sebagai pembayangan kekayaan Tuhan Yang Maha Pencipta. Bentuk puisi epik yang terkenal dalam sastra Jawa kuno mencapai kesimpulan bahwa puisi bagi sang penyair adalah semacam yoga. Puisilah yang menjadi sarana untuk mencapai seni dan terahir.estetik tidak bersifat otonom, fungsi seni diabdikan pada fungsi agama. Lewat seni manusia diperhadapkan dengan keagungan ciptaan Tuhan dan dia akan menghilangkan diri dalam keagungan pesona itu.  Tegangan sebagai dasar penilaian estetik.

 

C . KOMENTAR PENULIS LAPORAN

            Buku ini banyak memberikan sumbangsih dalam kajian sastra, terutama dalam pemahaman sastra itu bagaimana, karena penulisnya berusaha memaparkan sastra secara rinci, Buku ini bagus digunakan oleh mahasiswa yang belajar sastra Indonesia, namun buku ini dalam penyampaiannya sulit dimengerti, dikarenakaan kata-katanya baku.

             Sebagai pembanding buku yang dilaporkan adalah buku Pengantar Ilmu Satra karangan J.V Luxemburg, yang memulai bukunya tentang sastra yang sifat- sifat yang terdapat di dalam teks- teks sastra yang menyatakan bahwa sastra adalah sebuah telaah sistematik mengenai sastra dan mengenai komunikasi sastra yang pada prinsipnya menghiraukan batas- batas antara bangsa dan antara kebudayaan

              Selanjutnya mengenai fakktor historik dan faktor sosial .Keberatan yang pernah diajukan  kepada ilmu sastra umum ialah tidak adanya perhatian untuk yang bersifat individual untuk karya sastra sebagai sebuah karya seni yang unik.Sifat sastra yang hermeneutik yaitu menerangkan teks penafsiran serta penilaian terhadap karya- karya sastra sendiri justru menjadi kanca perhatia

               Masalah- masalah yang muncul dalam pendefinisian sastra  dalam buku pembanding adalah :

1.Orang ingin mendefinisikan terlalu banyak sekaligus.

2. Orang mencari definisi yang mengungkapkan hakikat sebuah karya sastra dalam situasi para pembaca sastra.

3. Anggapan mengenai sastra yang diberikan contih dari sastra barat.

4. Definisi yang kurang lebih memuaskan berkait dengan sejumlah jenis sastra,tetapi yang kurang relevan kalau diterapkan dalam sastra umum.

5. Sastra sendiri sering dimutlakan dan dijadikan sebagi tolak ukur universal,padahal perlu diperhatikan kenisbian historik sebagai titik pangkal.

 

D.  PENUTUP

              Buku ini bagus digunakan oleh mahasiswa yang belajar sastra Indonesia, banayk memberikan manfaat serta memberakan pengetahuan yang riinci karena buku ini bnayak melampirkan teori pendukung pada setiap pembahasannya. Namun buku ini dalam penyampaiannya sulit dimengerti, dikarenakaan kata-katanya baku.  Kelemahan buku ini terletak pada tidak dilengkapi dengan biodata penulis sehingga pembaca  tidak mendapatkan informasi tentang penulis dan karya yang lainnya, walaupun begitu dari segi mutu dan cetakannya sudah sangat baik

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar