LAPORAN BACAAN BUKU A TEEUW Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori Sastra
TUGAS
KESUSASTRAAN
LAPORAN
BACAAN BUKU A TEEUW

NAMA : RESTYA RAMADHANI
NIM : 16017045
KELAS : A
PRODI : SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS
NEGERI PADANG
2016
LAPORAN
BACAAN
OLEH:
RESTYA RAMADHANI
A.
PENDAHULUAN
Identitas
Buku
Judul : Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori
Sastra
Pengarang : Prof. Dr. A. Teeuw
Penerbit : PT DUNIA PUSTAKA JAYA
Jl. Kramat Raya No. 5K, JAKARTA PUSAT
Tahun Terbit : 1988
Cetakan :
Pertama 1984
Kedua 1988
Tebal : 404 Halaman
Seri : PJ 580 02
Garis Besar Isi Buku :
19 cm
Gambar Jilid : A. Wakidjan
Dicetak dan dijilid oleh PT Karya
Nusantara, Bandung
B.
LAPORAN BAGIAN BUKU
BAB
I
APAKAH
SASTRA? BAHASA LISAN - BAHASA TULIS – SASTRA
Bab I memaparkan masih sulitnya
para ilmuan mencarikan batas untuk mendefinisikan(mengartikan) sastra secara
mutlak. Karena jikalau ada yang melakukan pedekatan untuk dari definisi itu,
banyak yamg menentang, menolak, atau
tidak ksampaian karena hanya menekankan pada satu aspek saja.
Pada Bab ini penulis juga
menjelaskan bahan banding agar dapat menjelaskan pengetian sastra, serta menjelaskan ciri-ciri istimewa
perbedaan pemakaian bahasa dalam bentuk tulisan dengan bahasa secara lisan,
seperti :
1. Komunikasi
2. Hubungan fisik
3. Situasi komunikasi
4. Kemungkinan akan adanya
kesalahpahaman
5. Keuntunagn dan kekurangan diantara
keduanya
6. Perkembangan IPTEK yang turut
memberikan pengaruh
7. Kemungkian adanya jarak jauh antara
kedua belah pihak.
Namun bukan ke-7 ciri itu saja
yang dikemukan oleh penulis, penulis juga menjelaskan konsekuensi situasi tulisan
untuk sastra, seperti keharusan bagi penulis yang ingin melakukan perumusan
untuk lebih teliti dan tepat, sarana komunikas yang khas, situasi komunikasi
tulisan yang dimanfaatkan dan dipermainkan petensinya, menjadi sumber paradoks
sastra yang fundamental,dapat dibolak-balik, pertentangan lisan dengan yang
dituliskan, sastra menjadi gejala
sejarah.
Penulis juga menekankan bahwa sastra dan bahasa tulis itu tidak identik,
sastra tidak terbatas pada bentuk bahasa tulis, hal ini dikarenakan sastra juga
ada yang lisan.
BAB
II
KARYA SASTRA DALAM MODEL SEMIONTIK
Pada bab ini penulis menjelaskan
megapa gejala sastra dapat didefiniskan dan mengapa begitu banyak jalan unuk
mendekatinya, yang diawalai dengan penjabaran mengenai perkembangan semiotik menurut
Ferdinand de Saussure yang membicarakan berbagai yang khas seperti tanda adalah
arbitter, konvensional, dan semantik, de Saussure juga mengatakan bahwa penting
juga memperhatikan pemanfataan aspek bunyi, karena bunyi tidak sembarangan
dipakai oleh manusia namun harus
menggunakan kaidah yang jelas.
Selanjunya penulis menjelaskan
mengenai situasi dan tanda bahasa menurut Mode bahasa Karl Buhler, yang mana Karl Buhler dalam
bukunya yang berjudul : Sprachteorie”
dalam buku itu beliau menjelaskan panjang lebar mengenai bahasa sebagai sistem tanda.
Namun penulis menyayangkan buku Karl Buhler yang kurang menarik perhatian
karena ditulis dalam bahasa Jerman.
Penulis juga menyinggung bagaimana
Abraham memperlihatkan kekacauan dan keraguan teori mengenai sastra yang
berlaku dan diutamakan dimasa Romantik, khususnya dalam puisi dan ilmu satra
Inggris abad ke-19.
Selanjunya penulis juga menyebut
model Roman Jakobson dengan fungsi politik , secara singkat beliau membahas faktor bahasa dan fungsi bahasa.
Penulis juga melakukan rujukan lain seperti Charles Morris yang mengungkapkan
perbedaan tiga dimensi dalam proses semiosis yang dilambangkan dengan
segiiga dan juga pada bukunya yang berjudul “The Search for Literary Meaning”
(1975: 41) tentang Foulkes.
Menurut penulis situasi dan fungsi
karya sastra cukup kompleks dan beragam seninya. Pendekatan yang hanya
menitikberatkan pada satu aspek saja akan bersifat berat sebelah, maka dari itu
semua aspek karya sastra harus di ikutsertakan .
Pada Bab ini penulis juga menyebutkan
faktor lain yang perlu ada dalam semiontik sastra, seperti sistem bahasa dan
konvensi sastran dan yang lebih pentingnya lagi pada saat penelitian fungsi
karya sastra, ialah faktor waktu sebab dalam variabelya karya sastra bukanlah
sesuatu yang stabil, tetap, dan tidak dapat terubahkan. Sebagai penutup bab ini
penulis membicarakan masalah nilai, beliau mengatakan bahwa sebenarnya penelitian
itu termasuk bidang estetik sebagai cabang ilmu tersendiri.
BAB
III
KARYA SASTRA DAN BAHASANYA
Pada bab ini penulis memaparkan
bahwa tidak dapat disangkal bahasa sastra itu khas, misalnya puisi, seorang penyair
sudah pasti menggunakan bahasa menyimpang yang biasa tidak dipakai dalam
kehidupan sehari-hari atau bahasa normal. Dalam ilmu sastra sendiri juga dapat
keistimewaan pemakaaian bahasa dalam sastra, terlebihnya dalam bidang piuisi itu
pasti ditonjolkan. Penulis juga menyebutkan sastra menyediakan norma yang baik
untuk berbahasa khususnya bahasa Latin.
Pada bab ini penulis juga menjelaskan
bahwa pada jaman modern stilistik sering memperlihatkan persamaan dengan
retorika, namun tanpa aspek normatifnya. Silistik berusa ha dan berhasil
menetapkan keistimewaan pemakaian bahsa secara insedental, namun tidak berhasil
menjelaskan apakah ciri khas bahasa puisi secara umum dan hakiki.
Selanjutnya penulis menjelaskan fungsi bahasa
puitik menurut teori Jakobson, yang secara ringkas menyebutkan fungsi puitik
bahasa adalah pemusatan perhatian pada pesan demi pesan itu sendiri (Jakobson
1960 :356). Jakobson secara khusus membikmncarakan puisi sebagai bentuk sastra
yan paling khas dan tipikal atu dengan kata lain fungsi puitiklah yang paling
dominan. Ia juga menguraikan prinsip konstitutif puisi ialah ekuivalensi “The poetic function projects the principle
of equivalence from the axis of selection into the axis of combination” dimana
lebih menonjolkan equivalensi yang terdapat dalam gejala yang sangat beraneka
raga, ekuivalensi bunyi, dalam bentuk rima, aleterasi, asonasi.
Secara rinci penulis menjelaskan
bagaimana Jakobson mengembangkan teorinya tentang kekhasan fungsi puitik dan
prinsip yanng mendasari puitik, serta penulis juga menampilkan ahli ahli lain
yang menentang serta mengkritik Teori Jakobson itu, seperti Riffaterre yang berpandangan bahwa
Jakobson hanya memperhatikan aspek linguitik dalam artian yang terbatas saja
dan mengabaikan aspek-aspek lain. Menurut Riffaterre pendekatan yang dilakukan
oleh Jakobson mengakibatkan penghilangan relevansi sosial karya sastra, menurut Riffaterre aspek terpenting dalam
puisi sperti ketegangan antara arti mimetik unsur bahasa dan makna semiotiknya.
Pada bab ini penulis juga
menampilkan ahli lain yang juga menentang teori Jakobson seperti ary Loise
Pratt yang mengkritiknya secara sosiologis mulai dari analisis struktur. Secara
jelas penulis menegaskan bahwa makna sebuah karya sastra baru akan dapat kita
pahami jika kita ketahui bahwa karya itu adalah karya sastra yang berdasarkan
konvensi dan aturan tertentu.
Penulis mengemukakan beberapa
konvensi yang berlaku dalam komunikasi kesastraan, yaitu :
1. Pembaca
telah menerima peranan sebagai audlence dalam menanggapi situasi pesan sastra
2. Si
pembaca telah tahu sebelumnya bahwa bacaan yang dihadapinya buka sembarang tulisan.
3. Pratt
membicrakan karya sastra yang disebut Tellability
BAB IV
KARYA
SASTRA DAN SISTEM SASTRA
Pada bab ini penulis menjelaskan
bagaimana pandangan Praat terhadap sastra, menurutnya sastra adalah contexdependent speech event yaitu peristiwa
ujaran yang tergantung pada konteks. Yang sebelum dipakai penulis sudah
merupakan sistem tanda, sistem semiotik, selanjutnya penulis membahas mengenai
sastra dan pemisahan konvensi budaya, hal ini ditujukan untuk jikalau ingin
melakukan penelitian sastra indonesia tradisional sosiolinguistik tidak mudah
dilakukan
Penulis juga membicarakan tentang
konveksi kesastraan yangkhas. Namun sebagaimana yang di jelaskan si penulis
dalam abad ke-19 khususnya Madame de Stael, mereka justru sangat kuat menentang
konvensi sosial, mau kembali ke alam tanpa konveksi yang mengikat secara sosial
Penulis
juga menjelaskan tentang sistem sastra, yaitu:
1. Sistem
itu tak dapat bersifat longgar, lincah. Dikarenakan adanya penyimpangan dan
pelanggaran terhadap norma-norma.
2. Perbedaan
antara diakronik yang cukup mendasar untuk konsep sistem bahasa.
BAB V
KARYA
SASTRA SEBAGAI STRUKTUR STRUKTURALISME
Pada bab ini penulis menggunakan
teori Aristoteles mengenai struktur karya sastra yang membahas membahas 4 pendekatan
yang disarankan oleh model Abrams yang mana prinsipya juga sama dengan prinsi
semiotik, diantaranya:
a. Pendekatan
obyektif, pendekatan ini lebih menekankan karya sastra sebagi struktur yang
sedikit banyaknya bersifat otonom.
b. Pendekatan
ekspresif
c. Pendekatan
pragmatik
d. Pendekatan
mimetik
Dalam bab ini penulis juga ada
menyinggung struktur karya sastra dan lingkaran hermeneutik dimana menurutnya
hermeneutik itu sendiri adalah ilmu atau keahlian mengnterpretasi karya sastra
dan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas. Si penulis menjelaskan
bagaimana munculnya minat untuk struktural karya sastra yang berangsur-angsur
dimulai pada abad ke-20, dimana penelitian struktural dirintis oleh kelompok
peneliti Rusia(formalis) antara 1915-1930 seperti tokohnya yaitu Jakobson,
Shklvsky, Eichenbaum, Tynjanov dll. Mereka ingin membebaskan ilmu sastra dari pengaruh,
tekenan ilmu lain, aliran formalis cepat berkembang dalam struktural, karena
mereka sadar akan dinamik intrinsik yang menjadi ciri khas sejarah sastra.
Selanjutnya penulis juga menjelaskan
analisis struktur suatu karya, yang mana berdasarkan prinsipnya saja sudah
diketahui bahwa analisis karya berjuan untuk membongkar, meneliti, memarparkan
secara cermat, detail, mendalam, keterjalinan semua anasir, beserata aspek
karya sastra yang sama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh. Selanjutnya
penulis mengemukakan beberapa kelemahan strukturalime khususnya New Critictsm,
diantaranya yaitu :
1. New
Critictsm secara khusus dan analitik struktur karya sastra secara umum bellum
merupakan teori sastra.
2. Karya
sastra tidak dapat diteliti secara terasing, tetapi harus dipahami dalam rangka
sistem sastra dan latar belakang sejarah.
3. Adanya
struktur yang obyektif dalam sastra makin disangsikan.
4. Analilis
yang menekankan otonomi sastra juga menghilangkan konteks dan fungsinya.
Pada bab ini penilis menyimpulkan
bahwa pendekatan sruktutral sastra terhadap sastra dan karya sastra tidak perlu
dan tidak di mutlakkan, pendekatan struktural terhadap karya sstra harus
ditematkan dalam keseluruhan model semiotik.
BAB VI
PENULIS
DALAM MODEL SEMIOTIK
Pada awal bab ini, penulis memaparkan
tentang longinus, longinus itu sendiri adalah keterbatasan keterangan terhadap sejarah, yang mana nama
penuils buku yang tidak diketahui. Kemudaian dilanjutkan dengan keterangan
penulis mengenai manusia sebagai pencipta meneladani ciptaan Tuhan pada abad
pertengahan.
Pada lain subbab, penulis juga
menjelaskan bahwa puisi lirik adalah merupakan jenis sastra yang sangat populer
dan represeentatif pada zaman romantik,
menurut penulis dalam puisi lirik pengkritik sastra romantik mendapakan sarana
yang paling baik untuk menyelami jiwa penyair
yang mejadi tujuan utama merreka, puisi lirik tidak mengambil bahanbahan
dari luar(katanya), dari knyataan seperti epik dan roman atau kebanyakan drama,
namun bahanya terkandung dalam jiwa pencipta.
Selanjutnya penulis menjelaskan
tentang masalah pemahaman teks dan niat teks, yang mana secara ringkasnya
penulis membenarkan bahwa tidak semua peneliti sastra modern setuju dengan
penghilangan pengarang dan niatnya sepeti dalam kalangan New Criticsan. Disisi
lain penulis juga menyertaka pendapat para ahli tentang masalah penghilangan
pengarang sebab tindakan ini sama saja dengan birokrasi modern dan borokrasi politik
yang juga mengorbanka kepentingan individu dan manusia demi cita-cita dan
norma-norma praktis.
Selain itu pada bab ini penulis
juga menampilkan siapa saja tokoh yang menetang aksi penghlanhgan pengarang
tersebt, seperti Juhl, dimana Juhl yang dalam karya sastranya yang berjudul
Interpretation. Buku ini sangat tegas sangat menentang pendirian struktural
otonomi yang melepaskan karya sastra dari niat penulisnya julh dalam bukunya itu epertahankan 3 dalil
yaitu :
1. Ada
perkaitan logis, artinya jika memahami karya sastra berarti memahami apa-apa
yang diniatkan penyampaiannya oleh penulis.
2. Penulis
yang nyata terlibat dalam dan bertanggung jawab proposisi yang diajukan dalam
karyanya.
3. Karya
sastra hanya mempunyai satu dan hanya sstu saja arti dan intention niat
Pada akhir bab penulis menjelaskan
kesimpulan yaitu bagi pembaca hubunan antar teks dan penulisnya mempunyai
ambiugitas sebagai ciri khas, makan sebuah karya tidak mutlak hasil niat dari
penulis. Penuli sadar bahwa jika ia menghadapi karya sastra berarti ia
berurusan dengan manusia dibelakangnya.
BAB VII
PEMBACA DALAM MODEL SEMIOTIK
Pada awal bab VII penulis
menjelaskan bahwa pada dunia Barat, fugsi bahasa untuk memenuhi pmbaca lain
mengakibatkan pembauran antara teori sasra dan teorik yang berusaha untuk
meneliti dengan tepat, cepat, lengkap
dan secermat mungkin. Juga pada bab ini penulis menjelaskan resepsi struktural
dinamisme menurut Mukarovsky, yaitu karya sastra yang berpangkal kepada pada
aliran formalis yang sabagai usaha untuk memahami karya sastra sebaga realisasi
fungsi puitik bahasa.
Secara detail penulis
menjelaskan bagaimana Mukarovsky mengaitkan sastra itu dengan berbagai aspek. Tidak
hanya resepsi dari Mukarovsky saja yang dijabarkan secara rinci oleh penulis
pada bab ini, namum juga disertakan dengan alasan dan pandanga dari ahli lain
yang menguatkan resepsi yang dikemukakan oleh Mukarovsky, contohnya seperti
Felix Vodickan namun peresepsi yang ditonjolkan dalam pembahasan Vodicka itu
adalah kekonkritannya. Penulis juga secara detail membahas bagaimana Vodicka
menyampaian gagasannya, bahkan saa ia harus berselisih paham dengan Ingarden.
Selanjutya pembahasan
dilanjutkan dengan teori estetik resepsi menurut Jausz, yang menyebutkan bahwa teori ini juga tidak jauh berbeda
dengan resepsi Mukarovsky.
Dan hal inti dalm bab ini adalah
bagaimana pembaca itu, menurut Foulkes dalam rangka penelitian karya sastra
dalam semoitik mau tdak mau harus mencurahkan situasinya pada pembaca. Pembavca
penting dari dua segi, yaitu sebagai subyek dan sebagai obyek. Sebagai subyek ialah yang menafsirkan,
membaca, menilai karya sastra dalam
proses interpertasi ia selalu berada dalam posisi tegangan antar textual
strcture. Selajutnya penulis menjabarkan bagaiamana metode penerapan resepsi
karya sastr, beserta melewati apa dan bagaiman pendekatan yang digunakannya.
BAB VIII
KARYA
SASTRA DAN KENYATAAN
Pada bab ini penulis menjelaskan tentang
teori palti yang secara rinci membahas tentang mimesis,menurutnya mimesis itu
terikat pada pendekatan bagi Plato tidak ada pertentangan antara realisme dan
idealisme dalam seni ( seni yang baik lewat mimesis peneladanan kenyataan
mengungkapkan sesuatu mengenai makna hakiki kenyataan itu).
Dari sisi lain, Aristoteles menyanggah Plato, dimana aristoteles tidak
menerima filsafat ide Plato dan sistenm nilainya yang hirarkis justru
menonjolkan aspek positif dari mimesif. Penyair tidak meniru kenyataan, tidak
mementaskan manusia yang nyata atau peristiwa sebaiamana adanya. Menurut
Aristoteles seniman lebih tinggi nilai seninya daripada seorang tukang, karena
seniman it padangan vision, penafsiran keadaanlah yang dominan.
Selanjutnya penulis membahas
bagaimana hubungan antara alam, seni dan kebudayaan.. disini penulis mengaitkan
beberapa pendapat dan pendukung yang konktet dari bebrapa ahli. Penulis juga membahas keterkaitan antara
mimesif kreasi dari segi bahasa.
BAB IX
TEKS
KARYA SASTRA SEBAGAI VARIABEL DALAM MODEL SEMIOTIK
Pada bab ini penulis menjelaskan
tenang kemampuan kebuah teks, yang secara ringkasnya ,Menurut Bowers pengaruh perusak karya sastra yang tak kenal ampun, yang
menggerogoti sebuah teks sepanjang waktu penurunannya. Kenyataanya teks apapun
juga cenderung berubah dan tak tidak stabil wujudnya sepanjang masa. Masalah
ini yaitu karya sastra sebagai variabel, dengan konsekuensinya untuk fungsi
karya sastra sebagai tanda dalam model semiotik. Dalam hubungan dan peranan
pembaca serta faktor-faktor lain yang relvan yang ditimbulkan oleh model
tersebut
Selanjunya penulis membahas tentang
filologi atau tekstologi sebagai studi sejarah teks yang mana tekstologi itu
dapat dibekan menjadi 3 macam menurut penurunan teks yaitu :
1.
tekstologi yang
meneliti sejarah teks lisan
2.
tekstologi
yang meneliti sejarah teks manuskrip
3.
tekstologi
yang meneliti sejarah buku catatan
Pada
bab ini penulis juga menyertakan mengapa teks itu tidak mantap seperti :
1. Perubahan dalam hal transliterasi dari satu sistem tulisan ke sistem lain.
2. Penggarapan kembali sebuah teks yang sudah dicetak oleh pengarang.
3. Sebuah teks cetakan diubah atas anjuran atau petunjuk penerbit
4. Teks cetak yang diubah karena campur tangan sensor atau pembesar dengan
alasan politik.
5. Perubahan teks
Selanjunya penulis membahas
tentang sepuluh dalil Lichacev untuk tekstologi. Bunyi sepuluh tesis Lichachev yaitu :
a. Tekstologi ialah cabang ilmu pengetahuan yang menyelidiki sejarah teks
suatu sastra
b. Pertama-tama penelitian teks, kemudian penerbitannya
c. Edisi teks harus menggambarkan sejarahnya
d. ada kenyataan tekstologi diluar penjelasannya
e. Kesaksian perubahan teks yang sadar diadakan secara ideologis, estetik,
psikologi.
f. Teks perlu diteliti keseluruhannya
g. Bahan penyerta tekstologi dan suatu karya sastra dala satu kumpulan
h. Perlu diteliti bayangan sejarah teks sebuah karya dalam monumen sastra lain
i.
Pekerjaan sang
penyalin dan kegiatan skriptoria perlu diteliti
j.
Rekonstuksi
suatu teks tidak dapat menggantikan teks yang di turunkan secara factual
Selain itu penulis juga membahas menngenai filolgi
yang ada di indonesia, kritik filologi tradisional, dan variasi naskah.
BAB X
STUDI SASTRA LISAN DALAM RANGKA SEMIOTIK SASTRA
Pada bab ini penulis mengemukakan Alasan mengapa dianggap penting perhatian untuk bentuk sastra lisan yaitu :
1.
Ada perbedaan
antara sastra lisan dan sastra tulis. Sastra tulis tidak memerlukan komunikasi
langsung antara pencipta dan penikmat.
2.
Peneliti
sastra lisan biasanya berlangsung dalam rangka yang berbeda-beda dengan ilmu
sastra umumnya.
3.
Kerangka teori
sastra sekaligus dapat dipakai untuk sastra lisan
4.
Kedua bentuk
sastra masih berdampingan, tetapi sering pula ada keterpaduan
Pada
pembahasan selanjutnya penulis menjelaskan bagaimana minat untuk bahasa lisan
yang ada di Eropa, Indonesia beserta sejarahnya, yang disertai dengan perkembangan
penilitian sastra baik secara modern, maupun secara tradisional.
BAB XI
TEORI SASTRA DAN SEJARAH SASTRA
Pada
sub bab yang pertama penulis menjelaskan tentang pendekatan sejarah sastra yang tradisional yang mana empat pendekatan yang utamanya yaitu :
1.
Sejarah sastra
ditaklukan pada sejarah umum, sehingga karya sastra dan penulisnya ditempatkan
dalam rangkaa yang disediakan oleh ilmu sejarah umum
2.
Pendekatan
yang mengambil kerangka karya atau tokoh agung, gabungan dua kriteria.
3.
Sejarah sastra
yang memusatkan perhatian pada motif atau tema yang terdapat dalam karya
sepanjang zaman.
4.
Lebih
memperhatikan asal usul karya sastra
daripada struktur dan fungsinya
Selaun itu
penulis juga mengungkapkan beberpa faktor relevan mengenai sejarah sastra
diantaranya :
a.
Dinamika sistem sastra.
b.
Pengaruh timbal balik antara jenis sastra.
c. Intertektualitas
karya individual dan sejarah sastra.
d. Sejarah sastra dan sejarah umum.
e. Penelitian
resepsi sastra dan sejarah sastra.
f. Sastra lisan
dan sejarah sastra.
BAB XII
SASTRA SEBAGAI SENI : MASALAH ESTETIK
Pada bab ini penulis membahas
tentang keterkaitannya almu sastra dengan seni dalm segala aspek, misalnya
padaa seni lukis, seni tulis, seni tari, seni drama, seni patung dan lain-lain. Menurutya seni bahasa menimbulkan masalah yang khas, karena
bahasa sebagai sarana seni bagi seniman. Bahasa sebelum dipakai oleh seniman
untuk membentuk sistem tanda dengan sistem makna yang mau tak mau mendasari
ciptaan sastrawan
Selanjutnya penulis menjelaskan
sejarah estetik sastra Barat ia,
mengatakan keindahan yang mutlak menurut Plato hanya terdapat pada tingkatdunia
ide-ide, dan dunia ide yang mengatasi kenyataan itulah dunia ilahi yang tidak
langsung terjangkau oleh manusia.
Pada bab ini penulis juga membahas
beberapa
pendekatan estetik Indonesia : Melayu dan Jawa Kuno, ringkasnya Braginsky membedakan tiga aspek pada konsep
keindahan melayu. Aspek ontologisnya yaitu keindahan puisi sebagai pembayangan
kekayaan Tuhan Yang Maha Pencipta. Bentuk puisi epik yang terkenal dalam sastra
Jawa kuno mencapai kesimpulan bahwa puisi bagi sang penyair adalah semacam yoga. Puisilah yang menjadi sarana untuk mencapai seni dan
terahir.estetik tidak bersifat otonom, fungsi seni diabdikan pada fungsi agama.
Lewat seni manusia diperhadapkan dengan keagungan ciptaan Tuhan dan dia akan
menghilangkan diri dalam keagungan pesona itu. Tegangan sebagai dasar
penilaian estetik.
C . KOMENTAR PENULIS LAPORAN
Buku ini banyak
memberikan sumbangsih dalam kajian sastra, terutama dalam pemahaman sastra itu
bagaimana, karena penulisnya berusaha memaparkan sastra secara rinci, Buku ini
bagus digunakan oleh mahasiswa yang belajar sastra Indonesia, namun buku ini
dalam penyampaiannya sulit dimengerti, dikarenakaan kata-katanya baku.
Sebagai pembanding buku
yang dilaporkan adalah buku Pengantar Ilmu Satra karangan J.V Luxemburg, yang
memulai bukunya tentang sastra yang sifat- sifat yang terdapat di dalam teks-
teks sastra yang menyatakan bahwa sastra adalah sebuah telaah sistematik
mengenai sastra dan mengenai komunikasi sastra yang pada prinsipnya
menghiraukan batas- batas antara bangsa dan antara kebudayaan
Selanjutnya mengenai
fakktor historik dan faktor sosial .Keberatan yang pernah diajukan kepada
ilmu sastra umum ialah tidak adanya perhatian untuk yang bersifat individual
untuk karya sastra sebagai sebuah karya seni yang unik.Sifat sastra yang
hermeneutik yaitu menerangkan teks penafsiran serta penilaian terhadap karya-
karya sastra sendiri justru menjadi kanca perhatia
Masalah- masalah yang muncul dalam
pendefinisian sastra dalam buku
pembanding adalah :
1.Orang
ingin mendefinisikan terlalu banyak sekaligus.
2. Orang mencari
definisi yang mengungkapkan hakikat sebuah karya sastra dalam situasi para
pembaca sastra.
3. Anggapan
mengenai sastra yang diberikan contih dari sastra barat.
4. Definisi
yang kurang lebih memuaskan berkait dengan sejumlah jenis sastra,tetapi yang
kurang relevan kalau diterapkan dalam sastra umum.
5. Sastra
sendiri sering dimutlakan dan dijadikan sebagi tolak ukur universal,padahal
perlu diperhatikan kenisbian historik sebagai titik pangkal.
D. PENUTUP
Buku ini bagus
digunakan oleh mahasiswa yang belajar sastra Indonesia, banayk memberikan
manfaat serta memberakan pengetahuan yang riinci karena buku ini bnayak
melampirkan teori pendukung pada setiap pembahasannya. Namun buku ini dalam
penyampaiannya sulit dimengerti, dikarenakaan kata-katanya baku. Kelemahan buku ini terletak pada tidak
dilengkapi dengan biodata penulis sehingga pembaca tidak mendapatkan
informasi tentang penulis dan karya yang lainnya, walaupun begitu dari segi
mutu dan cetakannya sudah sangat baik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar